Mutasim Billah Asim

Senin, 07 November 2016

Pendekatan Dan Model Kepemimpinan

Pendekatan Dan Model Kepemimpinan
A.     Pendekatan Kepemimpinan
Yang dimaksud pendekatan kepemimpinan disini adalah sudut pandang terhadap kepemimpinan, yang mana pendekatan kepemimpinan ini ada 3 yaitu: Pertama, yaitu pendekatan sifat yang menfokuskan pada karakteristik pribadi pemimpin. Kedua, yaitu pendekatan perilaku dalam hubungannya dengan bawahannya. Ketiga, Pendekatan situasional, perilaku seorang pemimpin dengan karakteristik situasional.
1.    Pendekatan Sifat.
Keberhasilan seseorang pemimpin banyak ditentukan atau dipengaruhi oleh sifat-sifat yang dimiliki oleh pribadi si pemimpin. Jadi, menurut pendekatan ini, seseorang menjadi pemimpin karena sifat-sifatnya.
Ada empat sifat umum yang mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi, yaitu  :
1.      Kecerdasan; pada umumnya pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipimpin,
2.      Kedewasaan, pemimpin cenderung menjadi matang dan mempunyai emosi yang stabil serta perhatian yang luas terhadap aktivitas-aktivitas sosial,
3.      Motivasi diri dan dorongan berprestasi; pemimpin cenderung mempunyai motivasi yang kuat untuk berprestasi,
4.      Sikap hubungan kemanusiaan, pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan kehormatan bawahan.
2.    Pendekatan perilaku
Pendekatan perilaku berlandaskan pemikiran bahwa keberhasilan atau kegagalan pemimpin ditentukan oleh gaya bersikap dan bertindak pemimpin yang bersangkutan. Gaya bersikap dan bertindak akan nampak dari cara melakukan sesuatu pekerjaan, antara lain akan nampak dari cara memberikan perintah, cara memberikan tugas, cara berkomunikasi, cara membuat keputusan, cara mendorong semangat bawahannya, cara memberikan bimbingan, cara menegakkan disiplin, cara mengawasi pekerjaan bawahannya, cara meminta laporan dari bawahannya, cara memimpin rapat, cara menegur kesalahan bawahannya, dan lain sebagainya.
Apabila dalam melakukan kegiatan tersebut pemimpin menempuh dengan cara tegas, keras, sepihak, yang penting tugas selesai dengan baik, yang bersalah langsung dihukum, maka gaya kepemimpinan seperti itu cenderung dinamakan gaya kepemimpinan otoriter. Sebaliknya apabila dalam melakukan kegiatan tersebut pemimpin melakukannya dengan cara halus, simpatik, interaksi timbal balik, melakukan ajakan, menghargai pendapat, memperhatikan perasaan, membina hubungan serasi, maka gaya kepemimpinan ini cenderung dinamakan gaya kepemimpinan demokratis.
Pandangan klasik menganggap setiap pegawai itu pasif, malas, enggan bekerja, takut memikul tanggung jawab, tiada keberanian membuat keputusan, tiada bersemangat untuk menemukan berbagai cara kerja baru, bekerja berdasarkan perintah atasan semata-mata, melakukan pekerjaan dengan mengutamakan imbalan materi, sering mangkir dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal, sering memberikan laporan yang tidak sesuai dengan kenyataan, suka memfitnah, suka menipu diri sendiri.
Sebaliknya pandangan modern menganggap para pegawai itu sebagai manusia yang memiliki perasaan, emosi jiwa, kehendak yang patut dihargai, memerlukan hubungan serasi, perlu diperhatikan kebutuhannya, pada umumnya gemar bekerja, aktif, besar rasa tanggung jawabnya, rajin, disiplin, tinggi tingkat pengabdiannya, banyak gagasan baru, lebih menitikberatkan pada hal yang positif dalam hubungan dengan pihak lain.
Dua macam pandangan tersebut menimbulkan adanya gaya kepemimpinan yang berbeda. Pandangan klasik lebih mengutamakan gaya otoriter, sedang pandangan modern lebih mengutamakan gaya demokratis.
3.    Pendekatan situasional
Pendekatan atau teori kepemimpinan ini dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard berdasarkan teori-teori kepemimpinan sebelumnya. Pada pendekatan ini didasarkan atas asumsi bahwa keberhasilan kepemimpinan suatu organisasi tidak hanya dipengaruhi oleh perilaku dan sifat-sifat pemimpin saja, karena tiap-tiap organisasi itu memiliki ciri-ciri khusus dan unik. Bahkan organisasi yang sejenispun akan menghadapi masalah yang berbeda karena adanya lingkungan yang berbeda, semangat dan watak bawahan yang berbeda.
Situasi yang berbeda-beda ini harus dihadapi dengan perilaku kepemimpinan yang berbeda pula. Karena banyaknya kemungkinan yang dapat dipakai dalam menerapkan perilaku kepemimpinan sesuai dengan situasi organisasi, maka pendekatan situasional ini disebut juga dengan pendekatan kontingensi; yang dapat berarti kemungkinan.
Pendekatan situasional atau kontingensi didasarkan pada asumsi bahwa keberhasilan seorang pemimpin selain ditentukan oleh sifat-sifat dan perilaku pemimpin juga dipengaruhi oleh situasi yang ada dalam organisasi.
B.    Model Kepemimpinan
1.      Model Kepemimpinan Kontingensi Fielder
Teori ini dikembangkan oleh Fiedler dan Chemers. Keberhasilan pemimpin bergantung pada diri pemimpin maupun kepada keadaan organisasi. Menurut Fiedler tak ada gaya kepemimpinan yang cocok untuk semua situasi, serta ada tiga faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu hubungan antara pimpinan dan bawahan, struktur tugas serta kekuasaan yang berasal dari organisasi
Berdasarkan tiga dimensi tersebut, Fiedler menentukan dua jenis gaya kepemimpinan dan dua tingkat yang menyenangkan. Pertama, gaya kepemimpinan yang mengutamakan tugas, yaitu ketika pemimpin merasa puas jika tugas bisa dilaksanakan. Kedua, gaya kepemimpinan yang mengutamakan pada hubungan kemanusiaan, hal tersebut menunjukkan bahwa efektifitas kepemimpinan bergantung pada tingkat pembauran antara gaya kepemimpinan dengan tingkat kondisi yang menyenangkan dalam situasi tertentu.
2.      Model  Kepemimpinan Tiga Dimensi
Teori ini dikemukakan oleh Reddin, seorang guru besar Universitas New Brunswick, Canada. Menurutnya ada tiga dimensi yang dapat dipakai untuk menentukan gaya kepemimpinan, yaitu perhatian pada produksi atau tugas, perhatian pada orang, dan dimensi efektifitas. Reddin mengatakan bahwa gaya tersebut dapat menjadi efektif dan tidak efektif, tergantung pada situasi. Gaya yang efektif yaitu:
1)        Eksekutif.
Gaya ini banyak memberikan perhatian pada tugas-tugas pekerjaan dan hubungan kerja. Seorang Pimpinan yang menggunakan gaya ini disebut sebagai motivator yang baik, mau menetapkan standar kerja yang tinggi, berkehendak mengenal perbedaan diantara individu, dan berkeinginan menggunakan tim kerja dalam manajemen.
2)        Pecinta pengembangan (developer).
Gaya ini memberikan perhatian yang maksimum terhadap hubungan kerja, dan perhatian yang minimum terhadap tugas-tugas pekerjaan. Seorang Pimpinan yang menggunakan gaya ini mempunyai kepercayaan yang  tinggi terhadap orang-orang yang bekerja dalam organisasinya, dan sangat memperhatikan pengembangan mereka sebagai individu.
3)        Otokratis yang baik (Benevolent autocrat),
Gaya ini memberikan perhatian yang maksimum terhadap tugas, dan perhatian minimum terhadap hubungan kerja. Pimpinan  ini mengetahui secara tepat apa yang ia inginkan dan bagaimana memperoleh yang diinginkan tersebut tanpa menyebabkan ketidakseganan di pihak lain.
4)        Birokrat.
Gaya ini memberikan perhatian yang minimum baik terhadap tugas maupun hubungan kerja. Pimpinan ini sangat tertarik pada peraturan-peraturan dan menginginkan peraturan tersebut dipelihara serta melakukan control situasi secara teliti.

Sedangkan gaya yang tidak efektif yaitu:
1.      Pencinta kompromi (compromiser).
Gaya ini memberikan perhatian yang besar pada tugas dan hubungan kerja dalam suatu situasi yang menekankan pada kompromi. Pimpinan seperti ini merupakan pembuat keputusan yang tidak bagus karena banyak tekanan yang mempengaruhinya.
2.      Missionari.
Gaya ini memberikan penekanan yang maksimum pada orang-orang dan hubungan kerja, tetapi memberikan perhatian minimum terhadap tugas dan perilaku yang tidak sesuai. Pimpinan semacam ini hanya menilai keharmonisan sebagai suatu tujuan dalam dirinya sendiri.

3.      Otokrat.
Gaya ini memberikan perhatian maksimum terhadap tugas dan minimum terhadap hubungan kerja dengan suatu prilaku yang tidak sesuai. Pimpinan seperti ini tidak mempunyai kepercayaan pada orang lain, tidak menyenangkan, dan hanya tertarik pada pekerjaan yang segera selesai.
4.      Deserter (Lain dari tugas).
Gaya ini sama sekali tidak memberikan perhatian baik pada tugas maupun pada hubungan kerja. Dalam situasi tertentu gaya ini tidak begitu terpuji, karena Pimpinan seperti ini menunjukkan sikap positif dan tidak mau ikut campur secara aktif dan positif.
3.      Model  kepemimpinan Situasional
Teori ini merupakan pengembangan dari model kepemimpinan tiga dimensi, yang didasarkan pada hubungan antara tiga faktor, yaitu perilaku tugas (task behavior), perilaku hubungan (relationship behavior) dan kematangan (maturity). Perilaku tugas merupakan pemberian petunjuk oleh pemimpin terhadap anak buah meliputi penjelasan tertentu, apa yang harus dikerjakan, bilamana, dan bagaimana mengerjakannya, serta mengawasi mereka secara tepat.
Perilaku hubungan merupakan ajakan yang disampaikan oleh pemimpin melalui komunikasi dua arah yang meliputi mendengar dan melibatkan anak buah dalam pemecahan masalah. Adapun kematangan adalah kemampuan dan kemauan anak buah dalam mempertanggungjawabkan pelaksanan tugas yang dibebankan kepadanya. Dari 3 faktor tersebut, tingkat kematangan anak buah merupakan faktor yang paling dominan.
Menurut teori ini gaya kepemimpinan akan efektif jika disesuaikan dengan tingkat kematangan anak buah. Makin matang anak buah, pemimpin harus mengurangi perilaku tugas dan menambah perilaku hubungan. Apabila anak buah bergerak mencapai tingkat rata-rata kematangan, pemimpin harus mengurangi perilaku tugas dan perilaku hubungan. Selanjutnya, pada saat anak buah mencapai tingkat kematangan penuh dan sudah dapat mandiri, pemimpin sudah dapat mendelegasikan wewenang kepada anak buah.
Gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan dalam keempat tingkat kematangan anak buah dan kombinasi yang tepat antara perilaku tugas dan perilaku hubungan adalah sebagai berikut:
1)   Gaya Mendikte (Telling). Gaya ini diterapkan jika anak buah dalam tingkat kematangan rendah, dan memerlukan petunjuk serta pengawasan yang jelas. Gaya ini disebut mendikte karena pemimpin dituntut untuk mengatakan apa, bagaimana, kapan, dan dimana tugas dilakukan. Gaya ini menekankan pada tugas, sedangkan hubungan hanya dilakukan sekedarnya saja.
2)   Gaya Menjual (Selling). Gaya ini diterapkan apabila kondisi anak buah dalam taraf rendah sampai moderat. Mereka telah memiliki kemauan untuk melakukan tugas, tetapi belum didukung oleh kemampuan yang memadai. Disebut menjual karena pemimpin selalu memberikan petunjuk yang banyak. Dalam tingkat kematangan anak buah seperti ini, diperlukan tugas serta hubungan yang tinggi agar dapat memelihara dan meningkatkan kemauan yang telah dimiliki.
3)   Gaya Melibatkan Diri (Participating). Gaya ini diterapkan apabila tingkat kematangan anak buah berada pada taraf kematangan moderat sampai tinggi. Mereka mempunyai kemampuan, tetapi kurang memiliki kemauan kerja dan kepercayaan diri. pemimpin dengan anak buah bersama-sama berperan di dalam proses pengambilan keputusan. Dalam kematangan seperti ini, upaya tugas tidak diperlukan, namun upaya hubungan perlu ditingkatkan dengan membuka komunikasi dua arah.
4)   Gaya Mendelegasikan (Delegating). Gaya ini diterapkan jika kemampuan dan kemauan anak buah telah tinggi. Gaya ini disebut mendelegasikan karena anak buah dibiarkan melaksanakan kegiatan sendiri, melalui pengawasan umum.
Hal ini biasa  dilakukan jika anak buah berada pada tingkat kedewasaan yang tinggi. Dalam tingkat kematangan seperti ini upaya tugas hanya diperlukan sekedarnya saja, demikian pula upaya hubungan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar